TRAUMA KIMIA,KECELAKAAN KERJA,REGULASI KESELAMATAN & KESEHATAN


Aspek Medikolegal Trauma Mata
Trauma pada mata merupakan 3-4% dari seluruh kecelakaan kerja di Amerika Serikat. Sebagian besar (84%) merupakan trauma kimia. Rasio frekuensi asam dibandingkan basa sebagai bahan penyebabnya pada trauma kimiawi bervariasi dari 1:1 sampai 1:4, berdasarkan beberapa penelitan. Trauma kimiawi biasanya disebabkan akibat bahan-bahan yang tersemprot atau terpercik pada wajah.1
Dalam satu laporan di negara berkembang, 80% dari trauma kimiawi pada mata dikarenakan oleh pajanan atau karena pekerjaan. Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di laboratorium, industri, pekerjaan yang menggunakan bahan kimia dan pertanian. Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan menjadi trauma asam, trauma basa/alkali.Pengaruh bahan kimia terhadap mata bergantung pada pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia tersebut yang mengenai mata. Dibandingkan bahan yang bersifat asam, bahan yang bersifat basa lebih cepat merusak dan menembus kornea. Ketika bahan kimia terkena mata maka harus
segera diberikan tindakan, seperti diantaranya irigasi pada daerah mata yang terkena trauma kimia. Sebab jika penanganan terlambat dilakukan dapat memberikan penyulit yang lebih berat. 1
Aspek hukum trauma mata dibahas dalam salah satu cabang ilmu kedokteran, yaitu traumatologi forensic. Melalui traumatologi forensic, kita dapat mengetahui mengenai aspek medikolegal, klasifikasi cedera berdasarkan penyebabnya, karakteristik cedera, serta sebab dan mekanisme matinya seseorang. Dengan demikian, kita dapat menentukan kualifikasi cedera dan sebab kematian untuk kepentingan peradilan.2

Luka dibagi menjadi luka ringan, sedang, dan berat.
Penjelasan mengenai luka ringan dan hukuman bagi pelakunya dijelaskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 352. Luka ringan adalah luka yang tidak menyebabkan sakit atau halangan dalam melakukan pekerjaan (jabatan atau pencarian). Contoh luka ringan adalah memar atau lecet, yang berdasarkan lokasi dan luasnya dianggap tidak mengakibatkan gangguan fungsi.2
Luka sedang adalah luka/cedera diantara luka berat dan luka ringan (misalnya vulnus laceratum, vulnus scissum, atau fraktur) yang tidak mengancam nyawa. Dengan kata lain, luka sedang merupakan luka yang menyebabkan penyakit atau menghalangi pekerjaan untuk sementara waktu.2
Luka yang termasuk luka berat dirinci dalam KUHP pasal 90:2
-          Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut.
-          Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian
-          Kehilangan salah satu pancaindera
-          Mendapat cacat berat
-          Menderita sakit lumpuh
-          Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
-          Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
Kecelakaan Kerja3
Masyarakat pekerja di Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 1995, jumlah pekerja sekitar 88,5 juta dan meningkat menjadi 100.316.000 pada tahun 2003. Jumlah penduduk Indonesia tahun 2003 sebesar 216.948.400 orang, jumlah penduduk usia kerja 152.649.981 orang, angkatan kerja 100.316.007 orang, yang terbagi dalam beberapa lapangan usaha utama atau jenis industri utama yaitu pertanian 47,67%, perdagangan 17,90%, industri pengolahan 11,80%, dan jasa 10,98%.
Kecelakaan industri adalah kejadian kecelakaan yang terjadi di tempat kerja khususnya di lingkungan industri. Menurut International Labour Organization (ILO), setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian akibat penyakit akibat hubungan pekerjaan.
Data dari Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N) menunjukkan bahwa kecenderungan kejadian kecelakaan kerja meningkat dari tahun ke tahun yaitu 82.456 kasus di tahun 1999, 98.905 kasus di tahun 2000, dan mencapai 104.774 kasus pada tahun 2001. Dari kasus-kasus kecelakaan kerja, 9,5% diantaranya (5.476 tenaga kerja) mendapat cacat permanen. Ini berarti setiap hari kerja ada 39 orang pekerja yang mendapat cacat baru atau rata-rata 17 orang meninggal karena kecelakaan kerja.

Kecelakaan industri secara umum disebabkan oleh 2 hal pokok, yaitu perilaku kerja yang berbahaya (unsafe human act) dan kondisi yang berbahaya (unsafe condistions). Beberapa hasil penelitian menunjukkkan bahwa faktor manusia memegang peranan penting timbulnya kecelakaan kerja. Hasil penelitian menyatakan bahwa 80%-85% kecelakaan kerja disebebkan oleh kelalaian atau kesalahan faktor manusia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pasal 23 mengenai kesehatan kerja disebutkan bahwa upaya kesehatan kerja wajib diselenggarakan pada setiap tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan yang besar bagi pekerja agar dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya, untuk memperoleh produktivitas kerja yang optimal, sejalan dengan program perlindungan tenaga kerja.

Kecelakaan kerja adalah riwayat kecelakaan akibat kerja atau di tempat kerja yang pernah dialami oleh pekerja industri. Daerah cedera merupakan bagian tubuh yang mengalami cedera sedangkan sifat cedera adalah jenis luka yang diderita akibat kecelakaan. Pekerja di bagian produksi di suatu jenis industri diwajibkan menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) sebagai alat untuk pelindung kerja disesuaikan dengan jenis pekerjaannya.
Kejadian kecelakaan dan cedera akibat kecelakaan kerja masih sering terjadi maka perlu ditingkatkan kepatuhan pemakaian APD saat bekerja dan melengkapi serta menyempurnakan APD agar nyaman dipakai. Upaya untuk menurunkan angka kejadian kecelakaan akibat kerja dengan cara pengendalikan faktor risiko melalui model intervensi yang tepat dan sesuai masing-masing jenis industri.
Regulasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)4
Indonesia mempunyai kerangka hukum yang ekstensif, sebagaimana terlihat pada daftar peraturan perundang-undangan K3 (lampiran). Undang-undang K3 yang terutama di Indonesia adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-undang ini meliputi semua tempat kerja, dan menekankan pentingnya upaya atau tindakan pencegahan primer.
Diantara negara-negara Asia, Indonesia termasuk negara yang telah memberlakukan undang-undang yang paling komprehensif tentang sistem manajemen K3, khususnya bagi perusahaan-perusahaan yang berisiko tinggi. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa “setiap perusahaan yang mempekerjakan 100 karyawan atau lebih atau yang sifat proses atau bahan produksinya mengandung bahaya karena dapat menyebabkan kecelakaan kerja berupa ledakan, kebakaran, pencemaran, dan penyakit akibat kerja, diwajibkan menerapkan dan melaksanakan sistem manajemen K3”.
Sistem manajemen K3 bisa jadi merupakan sistem yang efektif untuk menghadapi tantangan K3 di era globalisasi. Namun, penegakan hukumnya tidak cukup ketat. Dari kira-kira 170.000 perusahaan, hanya sekitar 500 yang sampai sejauh ini mempunyai sistem manajemen K3 yang telah diaudit.
Untuk memperbaiki upaya penegakan ketentuan-ketentuan K3 dan pelaksanaannya di perusahaan perusahaan, dibentuklah Panitia Pembina K3 (P2K3). Semua perusahaan yang mempekerjakan lebih dari 50 karyawan, diwajibkan mempunyai komite K3 dan mendaftarkannya pada kantor dinas tenaga kerja setempat. Namun, pada kenyataannya, masih ada banyak perusahaan dengan lebih dari 50 karyawan yang belum membentuk P2K3. Komite yang sudah terbentuk pun sering tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pada umumnya, setiap proyek konstruksi (misalnya, konstruksi bangunan, pembangunan infrastruktur, pembongkaran bangunan) melibatkan pekerjaan dan tugas-tugas dengan risiko bahaya cukup besar. Kecelakaan fatal dapat terjadi ketika buruh bangunan jatuh dari ketinggian, tertimpa, kejatuhan atau terhantam oleh benda atau mesin yang sedang bergerak. Bahaya lain dapat berupa kebisingan, bahan-bahan kimia berbahaya (misalnya, yang terdapat dalam cat, cairan pelarut, minyak), debu (silika dan asbes), gas atau asap (misalnya dari pekerjaan pengelasan), dan getaran. Seperti halnya di sector pertanian, buruh bangunan juga tidak luput dari berbagai gangguan nyeri otot akibat ketegangan karena bagian tubuh yang sama digunakan untuk melakukan pekerjaan yang sama berulang-ulang (repetitive strain injury) dan kondisi cuaca yang ekstrem. 

0 komentar:

Post a Comment