Respons Imun
Respons Imun
Respons imun alamiah: respons imun alamiah tidak memiliki spesifisitas
dan memori sehingga pertahanan tidak meningkat dengan adanya infeksi
berulang. Respons ini diperankan oleh sel fagosit dan sel NK dengan
menggunakan faktor soluble yaitu lisosom, komplemen, acute phase
proteins (CRP), dan interferon. Mikroorganisme yang masuk dalam tubuh
akan melalui dua mekanisme pertahanan utama, yaitu efek destruksi oleh
enzim yang bersifat bakterisidal dan mekanisme fagositosis oleh sel-sel
fagosit (gambar 4). Sel fagosit akan mengenali berbagai mikroorganisme.
Mekanisme ini akan menimbulkan respons inflamasi akibat migrasi sel-sel
yang terlibat dalam respons imun serta mengakibatkan vasodilatasi.
Respons imun adaptif terjadi melalui identifikasi dan
pengenalan terhadap adanya stimulus, misalnya bakteri dan virus.
Respons ini memiliki tiga karakter utama, yaitu spesifik, memori, dan
intensitas yang bervariasi. Komponen respons imun spesifik terdiri dari
respons imun humoral dan respons imun seluler.
1. Respons Imun Humoral
Respons imun humoral diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi satu
populasi (klon) sama yang memproduksi antibodi spesifik dan limfosit B
memori. Antibodi akan berikatan dengan antigen untuk mengaktivasi
komplemen yang mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Tiga elemen
penting dalam respons imun humoral, yaitu: antibodi, reseptor sel T (T
cell receptors), dan molekul MHC (Major Histocompatibility Complex).7,19
Antibodi berfungsi untuk pertahanan host karena menjadikan
mikroorganisme infektif sebagai target, merekrut mekanisme efektor host
yang dapat merusak, menetralkan toksin, dan menyingkirkan antigen asing
dari sirkulasi. TCR berinteraksi bukan dengan antigen secara
keseluruhan, tetapi dengan segmen pendek dari asam amino (antigen
peptida). Fungsi TCR adalah untuk mengikat dan mengenali kompleks
antigen spesifik dengan molekul MHC. MHC berfungsi untuk menentukan
kemampuan sistem imun seseorang dalam membedakan self dan nonself,
mengatur berbagai interaksi antara berbagai jenis sel yang terlibat
dalam respons imun, dan menentukan kemampuan individu untuk bereaksi
terhadap antigen spesifik dan kecenderungan untuk menderita kelainan
imunologik.
2. Respons Imun Seluler
Antibodi tidak dapat menjangkau mikroorganisme yang berkembang biak
intraseluler. Oleh karena itu, sistem imunitas tubuh mengaktivasi
limfosit T untuk menghancurkan mikroorganisme tersebut. Setelah antigen
eksogen diproses oleh APC, akan terbentuk fragmen peptida yang kemudian
dapat berinteraksi dengan TCR bersamaan membentuk kompleks dengan MHC.
Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu Th (CD4), untuk mengenal
antigen bekerja sama dengan MHC kelas II. Antigen endogen dihasilkan
oleh tubuh inang. Sebagai contoh adalah protein yang disintesis virus
dan protein yang disintesis oleh sel kanker. Antigen endogen dirombak
menjadi fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I
pada retikulum endoplasma. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu Tc
(CD8), untuk mengenali antigen endogen untuk berikatan dengan MHC kelas
I. Sel Th1
Pada dasarnya, respons imun alamiah dan adaptif bekerja saling
melengkapi. Sel-sel imun saling berinteraksi dalam regulasi sistem imun.
Respon Imun terhadap Alergen dan Iritan
Faktor yang terpenting dalam reaksi anafilaktik adalah IgE, yang disebut
antibodi homostitotropik atau reagin. IgE mempunyai sifat khas yang
tidak dimiliki oleh imunoglobulin kelas lain yang afinitasnya tinggi
pada mastosit (sel mast) dan basofil melalui reseptor Fc pada permukaan
sel bersangkutan yang mengikat fragmen Fc IgE. Sekali terikat, IgE dapat
melekat pada permukaan mastosit dan basofil selama beberapa minggu dan
IgE yang terikat inilah yang berperan besar pada reaksi anafilaktik.
Selain IgE, IgG4 diketahui mempunyai kemampuan serupa, tetapi dengan
afinitas yang jauh lebih rendah. Penelitian-penelitian terakhir
mengungkapkan bahwa berbagai jenis limfokin dan sitokin dengan peran
multi fungsi juga dilepaskan pada reaksi ini sebagai akibat aktivitas
mastosit oleh IgE. IL-3 dan IL-4 mungkin mempunyai dampak autokrin pada
sel mast bersangkutan dan substansi ini bersama-sama dengan sitokin yang
lain meningkatkan produksi IgE oleh sel B. Disamping itu, beberapa
jenis sitokin lain, termasuk produk golongan gen IL-8/IL-9, berperan
dalam proses kemotaksis dan aktifitas sel-sel inflamasi di daerah
terjadinya alergi.
Apabila IgE yang melekat pada mastosit atau basofil, mengalami pemaparan
ulang pada alergen spesifik yang dikenalnya, maka alergen akan diikat
oleh IgE demikian rupa sehingga alergen tersebut membentuk jembatan
antara 2 molekul IgE pada permukaan sel (crosslinking). Crosslinking
hanya terjadi dengan antigen yang bivalen atau multivalen tetapi tidak
terjadi dengan antigen univalen. Crosslinking yang sama hanya dapat
terjadi bila fragmen Fc-IgE bereaksi dengan anti IgE, atau bila reseptor
Fc dihubungkan satu dengan lain oleh anti reseptor Fc. Crosslinking
merupakan mekanisme awal atau sinyal untuk degranulasi sel mast atau
basofil.
Segera setelah ada sinyal pada membran sel, terjadi serangkaian reaksi
biokimia intraseluler secara berurutan menyerupai kaskade, dimulai
dengan aktivitas enzim metiltransferase dan serine esterase, diikuti
dengan perombakan fosfatidilinositol menjadi inositol trifosfat (IP3),
pembentukan diasilgliserol dan peningkatan ion Ca2+ intrasitoplasmatik.
Reaksi-reaksi biokimia ini menyebabkan terbentuknya zat-zat yang
memudahkan fusi membran granula sehingga terjadi degranulasi.
Degranulasi mengakibatkan pelepasan mediator-mediator yang sebelumnya
telah ada di dalam sel misalnya histamin, heparin, faktor kemotaktik
neutrofil (neutrophil chemotactic factor = NCF), platelet activating
factor (PAF), maupun pembentukan berbagai mediator baru. Diantara
mediator baru yang dibentuk adalah slow reacting substances anapltylaxis
yang terdiri atas substansi-substansi dengan potensi spasmogenik dan
vasodilatasi yang kuat yaitu leukotrien LTB4, LTC4, dan LTD4, disamping
beberapa jenis prostaglandin dan tromboksan. Mediator-mediator tersebut
mempunyai dampak langsung pada jaringan, misalnya histamin menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular, penyempitan bronkus,
edema pada mukosa, dan hipersekresi.
Iritan yang mengenai tubuh akan memicu sel mast untuk melepaskan
neuropeptida substansi P yang akan merangsang serabut saraf C
(n.trigeminus) sehingga timbul nyeri. Substansi P terletak dalam sel
saraf yang terpencar di seluruh tubuh sel dan dalam sel endokrin khusus
di usus. Neuropeptida ini dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
dan merupakan neurotransmiter rasa nyeri, raba, dan temperatur.
Fisiologi Aliran Udara
Ketika udara diinhalasi, udara melalu lubang yang sempit sehingga
kecepatan dan tekanan udara meningkat aliran turbulensi. Setelah
melewati lubang tersebut, udara menyebar ke seluruh kavitas nasal.
Aliran laminar menyebabkan pergerakan udara yang menuju traktus
respiratorius bawah. Aliran turbulen menyebabkan pusaran arus di dekat
nostril. Aliran ini menyebabkan distribusi udara melalui permukaan yang
lebih luas untuk mengondisikan udara serta mencapai area olfaktori.
Aliran turbulensi juga dapat membuat seluruh udara kontak dengan mukosa
sehingga udara masuk dapat dibersihkan, dilembabkan, dan dihangatkan
atau didinginkan
0 komentar:
Post a Comment