Hipoglikemia Pada Anak

Counterregulatory Hormone Deficiency1,2
Abnormalitas dari sekresi counterregulatory hormones yang menyebabkan hipoglikemia biasanya melibatkan GH, kortisol ataupun keduanya. Defisiensi glucagon dan juga epinefrin jarang terjadi. Defisiensi dari GH dari kortisol terjadi sebagi akibat dari hypopituitarism. Petunjuk untuk diagnosis pada infant dengan kelainan ini adalah adanya kondisi hipoglikemia yang disertai dengan midline facial atau defek neurologis (seperti bibir sumbing atau tidak terbentuknya korpus kallosum). Jaundice dan hepatomegali juga dapat terjadi pada kasus ini, menunjukan adanya hepatitis neonatal. Meskipun terjadi defisiensi dari GH, infant umunya lahir dengan ukuran badal yang normal.


Defisiensi sekresi kortisol dapat pula terjadi akibat insufisiensi adrenal yang dipengaruhi oleh berbagi faktor. Pada infant, insufisienesi adrenal primer terjadi akibat congenital adrenal hiperplasia. Pada anak-anak yang umurnya lebih tua, insufisiensi adrenal primer paling sering terjadi pada Addison disease. Konfirmasi dari defisiensi GH dan kortisol sebagai penyebab dari hipoglikemia memerlukan deteksi serum GH dan kortisol yang rendah saat episode hipoglikemia terjadi atau setelah test lainnya. Berlawanan dari kondisi hipoglikemia akibat hiperinsulinemia, pada defisiensi kortisol dan GH, keton pada serum dan urin positif saat terjadinya hipoglikemia, dan juga terdapat peningkatan kadar asam lemak bebas. Pengobatan pada kasus ini meliputi suplementasi dari hormon yang mengalami defisiensi pada kadar yang tepat.

Kekurangan Substrat1
Simpanan energi yang cukup dalam bentuk glikogen, jaringan adiposa, dan otot sangat diperlukan sebagai respon terhadap terjadinya hipoglikemia. Defisiensi dari simpanan energi ini merupakan penyebab umum terjadinya hipoglikemia pada neonatus yang periode gestasinya pendek ataupun pada neonatus yang prematur. Pada perioden neonatal awal, simpanan energi biasanya cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dari si neonatus kecuali pada kondisi kekurangan gizi. Proses pelepasan substrat dari simpanan energi tersebut terjadi secara abnormal pada kondisi ketotic hypoglicemia. Anak-anak dengan kelainan ini umumnya kurus dan kecil, serta mungkin mempunyai riwayat umur gestasi yang rendah.

Anak-anak dengan ketotic hipoglikemia mempunyai konsentrasi alanin plasma yang secara signifikan berkurang pada keadaan basal setelah overnight fast dan semakin berkurang seiiring dengan keadanya fastinya yang lebih lama. Alanin, yang diproduksi di otot, merupakan prekursor utama jalur glukoneogenesis. Pemberian infus alanin (250 mg/kg) dapat meningkatkan kadar plasma glukosa secara cepat tanpa adanya perubahan pada kadar laktat ataupun piruvat; hal ini mengindikasikan bahwa semua proses glukoneogenesis dari level piruvat terjadi secara normal, namun terjadi defisiensi substrat.

Etiologi dari ketotic hipoglikemia mungkin disebabkan oleh adanya defek pada salah langkah dari katabolisme protein, deaminasi oksidatif dari asam amino, transaminasi, sintesis alanin, atau transport alanin dari otot sebagai prekursor glukoneogenesis di hati. Meskipun defek ini dapat terjadi segera setelah lahir, kondisi hipoglikemia tidak muncul secara jelas sampai anak tersebut mengalami stress akibat restriksi kalori dalam jangka waktu yang lama. Selain itu terdapat juga penelitian yang mengatakan bahwa defek pada sekresi epinefrin akibat imaturitas inervasi saraf simpatis juga mempunyai efek pada terjadinya ketotic hipoglikemia ini. Tatalaksana pada kasus ini adanya dengan memberikan diet tinggi protein dan tinggi karbohidrat. Pemberian infus glukosa intravena diperlukan apabila pasien tidak dapat menerima asupan oral yang adekuat selama periode sakitnya.
Mapple Syrup Urine Disease (MSUD)3, merupakan penyakit autosomal dominan, yang dikenal juga dengan nama branched chain ketoaciduria. MSUD disebabkan oleh defisiensi dari enzim dekarboksilase yang menginisiasi degradasi dari analog ketoacid dari 3 asam amino bercabang : leusin, isoleusin, dan valin. MSUD jarang terjadi (1:250,000) pada populasi normal, namun pada beberapa populasi yang terisolasi seperti pada Pennsylvania, prevalensinya lebih besar.
Manifestasi klinis dari MSUD biasanya terjadi setelah 1 sampai 4 minggu kelahiran. Poor feeding, vomiting, dan takipnea umumnya terjadi, namun kondisi yang paling khusus adalah adanya depresi dari sistem saraf pusat, disertai dengan kondisi hipotonia dan hipertonia yang bergantian, opisthotonos, dan juga seizures. Ciri khas lainnya adalah urin pasien mempunyai bau seperi bau sirup maple.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adanya dengan medeteksi adanya hipoglikemia, dan juga sering kali terjadi asidosis metabolik. Kondisi asidosis disebabkan sebagian oleh asam organik dari ketoacid, dan sebagian oleh badan keton biasa yaitu β-hydroxybutyrate dan acetoacetate. Branced chain ketoacids dapat bereaksi secara cepat dengan 2,4-dinitrophenyl-hydrazine untuk membetuk presipitat berwarna putih.

Diagnosis pasti dari MSUD ditegakan dengan terjadinya peningkatan besar kadar plasma dari leusin, isoleusin dan valin, serta identifikasi dari alloi isoleusin plasma. Profil asam organik pada urin juga umumnya abnormal, yang mananya menunjukan adanya derivatif ketoacid dari ketiga asam amino bercabang tersebut. Tatalaksana dari MSUD meliputi restriksi dari asupan ketiga asam amino tersebut sampai sesuai dengan kadar normal yang diperlukan untuk pertumbugan. Hemodialisis, hemofiltrasi serta peritoneal dialisis juga dapat digunakan pada kondisi krisis asidosis. Transplantasi liver juga secara efektif dapat menangani MSUD.


Disorders of Metabolic Response Pathways1
Dalam mempertahakan konsentrasi glukosa serum normal dalam fasting state diperlukan produksi glukosa lewat jalur glikonelolisis dan glukoneogenesis serta produksi dari jalur alternative melalui lipolisis dan oksidasi asam lemak.

Glikogenolisis
Glycogen Storage Disease (GSD)3
GSD masuk sebagai salah satu diagnosis dari hipoglikemia dan hepatomegali. Glikogen merupakan bentuk penyimpanan glukosa dan ditemukan secara banyak di liver, dimana dari situ ia memodulasi kadar glukosa darah, dan pada otot, memfasilitasi kerja anaerobik. Glikogen disintesis dari uridine diphosphoglucose melalui aksi glikogen sintase dan brancher enzim. Akumulasi dari glikogen distimulasi oleh insulin. Proses glikogenolisis berjalan melalui kaskade yang diinisiasi oleh epinefrin atau glukagon, dan melibatkan enzim-enzim terutama phophoglucomutase dan glucose-6-phophatase. GSD dibagi menjadi beberapa kategori, antara lain:
1. predominan pada liver dan mempunyai efek langsung pada glukosa darah (tipe I, VI, dan VIII)
2. predominan melibatkan otot dan mempengaruhi kemampuan dalam melakukan proses anaerobik (tipe V dan VII)
3. melibatkan liver dan otot serta secara langsung mempengaruhi kadar glukosa darah dan metabolisme otot (tipe III)
4. mempuntai efek pada berbagai jaringan namun tidak mempunyai efek langsung pada glukosa darah serta pada kemampuan melakukan kerja anaerobik (tipe II dan IV)

Kelainan yang berkaitan dengan sintesis dan degradasi glikogen sangatlah bervariasi. Karena itu, jenis kelainan ini dibagi-bagi lagi menurut defek pada enzimnya. Secara umum, GSD ini dapat mengenai hati atau otot secara lebih dominan. Pada GSD hepatik, kelainan enzimatik lebih dominan terjadi pada hati, dan penyakit ini diturunkan secara autosomal resesif kecuali pada 3 bentuk GSD tipe IX. Pada GSD otot, gangguan yang terjadi hanya melibatkan otot, seperti pada GSD tipe V dan tipe VII.

Salah satu jenis GSD yang paling sering ditemui adalah defek pada enzim glukosa-6-fosfatase (GSD tipe I). Ada beberapa jenis GSD tipe I. GSD tipe Ia mengacu pada defek enzim sejati, di mana defek terjadi karena aktivitas enzim glukosa-6-fosfatase berkurang. GSD tipe Ib mengacu pada defek transport intraseluler untuk melewati membran mikrosomal dari hepatosit dan leukosit, akibat defek pada protein transport T1. Pada GSD tipe Ic juga terjadi defek pada transport fosfatase inorganik, karena defek protein transport T2. Pada GSD tipe Id, terjadi defek pada GLUT7 sehingga terjadi defek pada transport glukosa mikrosomal.
Karena glukosa bebas merupakan hasil dari reaksi yang dikatalis oleh enzim glukosa-6-fosfatase, maka seluruh tipe tersebut akan mengakibatkan penumpukan glikogen hati disertai dengan hipoglikemia saat puasa. Hepatomegali akibat akumulasi glikogen merupakan suatu tanda penyakit ini.

Hati kehilangan kapasitasnya sebagai organ yang menjaga keseimbangan glukosa karena kehilangan kemampuannya untuk melepaskan glukosa. Normalnya, di hepatosit, katabolisme glikogen akan dipicu oleh stimulus berupa hipoglikemia secara neurohormonal, sehingga terjadi penumpukan glukosa-6-fosfat yang tidak dapat dilepaskan dari sel. Enzim glukosa-6-fosfatase ini, akan memutus ikatan dengan fosfat sehingga menghasilkan glukosa yang dapat dikeluarkan oleh darah. Pada kelainan ini, terjadi defek pada enzim tersebut, sehingga terjadi penumpukan glukosa-6-fosfat yang tidak dapat diubah menjadi glukosa. Akibatnya, kadar gula darah akan turun, terutama pada saat puasa.

Glukosa-6-fosfat ini juga merupakan suatu substrat untuk glikolisis, dan pada keadaan anaerob dapat memproduksi laktat. Laktat dapat keluar dari hepatosit, dan mengakibatkan asidemia laktat, yang sebanding dengan besarnya stimulus pemecahan glikogen. Akumulasi laktat yang berlebihan dapat menyebabkan asidosis dengan anion gap yang besar.

Peningkatan senyawa intermediet yang terfosforilasi dalam glikolisis akan menghambat refosforilasi dari nukleotida adenin, dan akan mengaktivasi jalur degradasi asam nukleat. Peningkatan degradasi asam nukleat ini, terutama oleh senyawa purin, akan meningkatkan asam urat, hasil akhir dari degradasi senyawa purin tersebut. Akibatnya terjadi hiperurisemia yang dapat menyebabkan nefrolithiasis.

Hipoglikemia yang parah akan meningkatkan sekresi epinefrin, yang akan mengaktivasi lipoprotein lipase, yang akan meningkatkan pelepasan asam lemak bebas. Asam lemak ini akan diangkut ke hati, di mana akan terjadi sintesis trigliserida dan akan dikeluarkan dalam bentuk VLDL, yang akan meningkat pada pasien dengan kelainan ini. Namun, meskipun dalam keadaan hipoglikemia, pasien dengan GSD I tidak menderita ketosis karena asetil KoA yang menumpuk akan mengaktifkan enzim asetil KoA karboksilase yang akan memproduksi malonil KoA, yang kemudian akan disintesis menjadi asam lemak. Kelainan lipid yang terjadi juga mencakup hiperkolestrolemia, dengan penurunan HDL dan peningkatan LDL.

Pada GSD tipe Ia, ditemukan pula hidung yang berdarah. Ini terjadi karena adanya gangguan dalam sintesis glikoprotein membran. Namun, mekanisme pastinya belum diketahui. Pada pasien dengan GSD tipe I, terjadi kerentanan terhadap infeksi gram positif. Pertumbuhan juga terganggu pada pasien dengan GSD tipe I. Beberapa studi menyebutkan bahwa terjadi pengurangan bone mineral density pada pasien dengan GSD tipe I. Dapat terjadi pula anemia, akibat kelebihan produksi hepcidin.

Diagnosis dari GSD seringkali dapat dikonfirmasi dengan DNA mutation testing pada sel darah. Saat prosedur ini dapat dilakukan, invasif prosedur seperti biopsi otot dan liver dapat dihindari. Saat test mutasi tidak dapat dilakukan, pengukuran kadar enzim pada jaringan yang dicurigai (liver atau otot) dapat digunakan untuk memastikan diagnosis. Tatalaksana dari hepatic GSD ditujukan untuk merestorasi kadar glukosa darah atau menyediakan sumber energi lain bagi otot. Pad GSD tipe I, pengobatan biasanya berupa noctural intragastric glukosa selama 1 atau 2 tahun. Tidak terdapat pengobatan spesifik dalam pada gangguan iskemik otot skelet saat berolahraga. Enzim replacement pada tipe II/Pompe disease bersifat efektif.

Glukoneogenesis
Fructose-1,6-Diphosphatase Deficiency2
Defisiensi dari enzim ini berdampak pada hambatan dalam proses glukoneogenesis dari semua prekursor dibawah fructosa-1,6-diphosphate. Menumpukny precursor-precursor glukoneogenic ini dapat menimbulkan asidosis laktat tanpa disertai dengan peningkatan glukosa. Proses glikogenolisis tetap normal. Pasien yang mengalami defisiensi enzim ini mengalami hipoglikemia hanya pada saat terjadinya deplesi kalori, seperi pada kondisi puasa, atau saat sakit yang berkepajangan. Selama cadangan glikogen masih normal, hipoglikemia umumnya tidak terjadi. Pemeriksaan laboratorium meliputi rendahnya kadar glukosa darah, asidosis laktat, hiperlipidemia, hiperuricemia. Hepatomegali pada kasus ini lebih cenderung diakibatkan oleh penumpukan lemak dibandingan penumpukan glikogen.

Diagnosis dilakukan dengan melakukan pengecekan defisiensi enzim pada liver atau biopsi intestinal. Gene yang mengkode fruktosa-1,6-diphophatase terletak pada kromosom 9q22. DNA-based test sekarang juga sering diguanakan dalam mendukung proses prenatal diagnosis. Terapi untuk anak-anak pada kasus in adalah diet tinggi karbohidrat (56%, tidak termasuk didalamnya fruktosa), rendah protein (12%) dan normal lemak (32%). Untuk kasus hipoglikemia akut dan asidosis digunakan infus glukosa intravena; responsnya umumnya cepat.

Defek pada oksidasi asam lemak3
Asam lemak berasal dari hidrolisis trigliserida dan katabolisme dari lemak. Katabolisme dari asam lemak melewati proses bertahap dari pelepasan dua gugus karbon untuk setiap asetil koA. Reaksi ini dikatalisir ileh sekumpulan enzim yang bekerja spesifik terhadap asam lemak dengan panjang tertentu: very long chain acyl-CoA dehydrogenase, long chain hydroxyacyl-CoA dehydrogenase (trifunctional protein), medium chain acyl-CoA dehydrogenase (MCAD), dan short chain acyl-CoA dehydrogenase. Defisiensi dari MCAD merupakan inborn error tersering dari proses β-oksidasi asam lemak.

Pasien yang mengalami defisiensi MCAD umumnya berumur 2-3 tahun disertai dengan fasting berkepanjang selama 12-16 hari akibat suatu penyakit. Tanda-tandanya antara lain muntah-muntah dan letargi, bisa juga terjadi koma, seizures, dan kolaps kardiorespiratori. Liver dapat menjadi sedikit membesar akibat infiltrasi lemak. Pada episode akut, manifestasi tersering adalah terjadi hypoketotic hypoglicemia; karena tidak adanya keton, maka acidemia sedikit atau tidak terjadi. Tes liver dalam batas normal, dengan peningkatan serum transaminase, urate, urea, ammonia, dan peningakatan protombin dan partial thromboplastin times. Kadar total karnitin plasma dan jaringan berkurang 25-50% dari normal, dan total fraksi dari karnitin yang teresterifikasi meningkat. Kondisi yang dikenal sebagai secondary carnitine deficiency ini hampir selalu dijumpai pada kasus dengan defek pada oksidasi asam lemak. Selain itu Sudden infant death syndrome dapat juga dijumpai pada kasus ini.

Diagnosis dari kelainan ini ditegakan dari penampakan klinis serta episode hypoketotic hypoglycemia. Diagnosis dikonfirmasi dengan melakukan analisis kadar asam organik dan acylglycine pada urin, kadar acycarnitine plasma dan profil lemak. Pada MCAD, mutasi pada 985A-G terjadi pada beberapa kasus. Tatalaksana kasusu berupa diet tinggi kabohidrat, suplemen karnitin, menghindari puasa, dan administrasi dari dexstrosa pada stress yang berkepanjangan.

Defek enzimatik
Galactosemia3
Galactosemia merupakan penyakit autosomal resesif yang disebabkan oleh defisiensi galactosa-1-phosphate uridyltransferase. Manifestasi klinis tampak jelas pada saat neonatus minum diberi minum susu, menampakan gejala gangguan fungsi liver (hiperbilirubinemia, gangguan koagulasi, dan hipoglikemia), gangguan fungsi tubulus ginjal (asidosis, glikosuria, dan aminoadciduria), dan katarak. Neonatal screening perlu dilakukan secara terus menerus dari waktu ke waktu karena infant yang mengalami defek ini dapat mati pada minggu pertama kelahiran. Infant dengan galactosemia mempunyai resiko tinggi tekena infeksi Escherichia coli. Gangguan mayor pada liver dan ginjal serta pembentukan katarak hanya terbatas pada awal-awal tahun kelahiran, dimana pada anak yang lebih tua terjadi gangguan dalam proses pembelajaran.

Manifestasi laboratorium dari galactosemia bergantung dari asupan galactosa pada diet. Saat galactosa dicerna, kadar plasma galactosa dan galactosa-1-phosphate dalam eritrosit meningkat. Hipoglikemia sering terjadi, begitu juga dengan albuminuria. Galactosa sering didapat di urin dan dapat dideteksi dengan reaksi positif dengan substansi pereduksi. Disfungsi dari tubulus ginjal dilihat dari adanya hyperchloermic asidosis. Diagnosis ditegakkan dengan adanya reduksi besar-besaran dari kadar galactose-1-phosphate uridyltransferase pada eritrosit. Tatalaksana dengan mengeliminasi galactosa pada diet dapat mengkoreksi abnormalitas secara cepat, namun pada beberapa infan dengan kondisi yang serius dapat meninggal sebelum terapi menjadi efektif.

Defisiensi galaktokinase yang merupakan penyakit autosomal resesif, juga dapat menyebabkan penimbukan galaktosa pada tubuh; hal ini berujung pada pembentukan galactitol/dulsitol melalui aksi dari aldolase reduktase. Galactitol berperan sebagai agen osmosis, dapat berperan pada pembentukan katarak, dan jarang dapat meningkatkan tekanan intracranial.

Hereditary fructose intolerance3 mempunyai efek yang analog dengan galactosemia. Saat fruktosa dicerna, defisiensi dari fructosa-1-phosphate aldolase berujung pada akumulasi dari fructosa-1-phosphate yang menyebabkan terjadinya emesis, hipoglikemia, dan gangguan liver serta ginjal yang parah. Eliminasi dari fruktosa dan sukrosa dari diet dapat mengkoreksi kelainan yang terjadi. Fructosuria analog dengan defisiensi galaktokinase yang diakibatkan oleh defiseiensi fruktokinase, namun defek pada fruktosuria tidak berbahaya.

Intoksikasi obat
Acute alcohol intoxication
Liver memetabolisme alkohol sebagai sumber bahan bakar pengganti; oksidasi dari etanol ini mengubah ratio NADH:NAD, yang mana penting untuk salah satu langkah dari jalur glukoneogenesis. Sebagai hasilnya, proses glukoneogenesis menjadi terganggu dan hipoglikemia dapat terjadi apabila cadangan glikogen habis akibat kelaparan lama atau akibat adanya kelainan pada metabolisme glikogen sebelumya. Pada anak-anak yang tidak makna untuk jangka waktu tertentu, konsumsi dari alkohol dalam jumlah yang sedikit dapat menyebabkan terjadinya kondisi ini. Kondisi hipoglikemik berespon baik terhadap pemberian glukosa intravena, yang mana harus merupakan tata laksana bagi anak-anak yang mengalami koma atau seizure, setelah melakukan pengecekan kadar glukosa darah.

Salicylate intoxication
Kondisi hipoglikemi maupun hiperglikemi dapat terjadi pada anak-anak dengan keracunan salisilat. Penggunaan berlebihan dari glukosa merupakan hasil dari penguatan kerja insulin oleh salisilat; sedangkan hipoglikemia dapat terjadi akibat pengaruh salisat terhadap proses glukoneogenesis. Infant umumnya lebih sering terkena kondisi ini dibandingan anak-anak dengan usia yang lebih tua. Ketosis juga mungkin dapat terjadi.

Manifestasi Klinis1,2
Gelaja dan tanda dari hipoglikemia terjadi akibat depresi langsung dari system saraf pusat akibat kurangnya substrat untuk pembentukan energi ataupun merupakan respon counterregulatory terhadap rendahnya kadar glukosa lewat sekresi katekolamin. Manifestasi pada infant berbeda dengan yang terjadi pada anak-anak yang lebih tua. Tanda dan gejala hipoglikemi pada infant umumnya tidak spesifik seperti jitterness, feeding problems, pallor, hipotoni, hipotermia, apnea, dan bradikardi, depresi pada kesadaran, dan seizures. Pada anak-anak yang lebih tua, tanda dan gejala yang terjadi meliputi kebingungan, irittabilitas, sakit kepala, masalah penglihatan, tremor, pallor, berkeringat, takikardi, weakness, seizures, dan juga koma. Umunya, hipoglikemia dapat menjadi asimptomatik pada neonatus. Neonatus dengan hiperinsulinemia umumnya memiliki berat badan yang lebih besar dari bayi normal; anak-anak yang lebih tua dengan hiperinsulinemia biasanya memiliki kebiasaan makan berlebih akibat kronik hipoglikemi dan pada kahirnya menjadi obes.

Aabila tejadi kegagalan dalam mendeteksi dan mengobati kondisi hipoglikemi yang berkepanjangan, maka dapat berdampak pada morbiditas jangka panjang yang serius, meliputi retardasi mental dan nonhipoglikemik seizures.

Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus dipenuhi trias Whipple’s yaitu:
1. manifestasi klinis yang khas
2. kejadian ini harus bersamaan dengan rendahnya kadar glukosa plasma yang diukur secara akurat dengan metoda yang peka dan tepat
3. gejala klinis menghilang dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah normoglikemia.
Bila ketiganya dipenuhi maka diagnosis klinis hipoglikemia dapat ditetapkan. Berdasar pada klinis, hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain untuk menetapkan etiologi. ikro untuk mengukur kadar hormon dan substrat dalam plasma, maka menjadi mungkin untuk memperluas definisi dan pengembangan protokol hipoglikemia dan mencari mekanisme yang mungkin menyebabkan turunnya gula darah. Jadi yang diukur adalah respon hormon yang meningkat saat terjadi hipoglikemia, antara lain epinefrin, hormon pertumbuhan, kortisol dan glukagon, bersama dengan substrat, antara lain: asam lemak bebas, gliserol dan badan keton Pendekatan yang dilakukan bilamana dicurigai hipoglikemia, adalah anamnesis yang teliti dilanjutkan pemeriksaan fisik dengan ini dapat memberikan petunjuk penting kearah diagnosis. Hipoglikemia yang dipicu oleh komponen makanan tertentu dapat mengarahkan pada ”inborn error of metabolism”, seperti galaktosemia, penyakit ”maple syrup urine” dan intoleransi fruktose. Obesitas yang mencolok saat lahir menyokong kearah hiperinsulinisme. Kolestasis dan mikropenis pada hipopituitarisme. Hepatomegali seringkali terjadi pada ”glycogen storage disease” atau defek pada glukoneogenesis. Miopati merupakan gambaran dari defek oksidasi asam lemak dan ”glycogen storage disease”

Pengobatan
Tujuan utama pengobatan hipoglikemia adalah secepat mungkin mengembalikan kadar gula darah kembali normal, menghidari hipoglikemia berulang sampai homeostasis glukosa normal dan mengkoreksi penyakit yang mendasari terjadinya hipoglikemia. Sehingga harus diketahui status klinis dan penyebab hipoglikemia.

Medikemantosa
Bila pasien tidak ada kelainan neurologik yang mengganggu proses menelan, hipoglikemia simptomatik diberikan karbohidrat oral dengan hasil yang memuaskan dan tidak ada perbedaan bermakna dengan yang diberikan dektrosa intravena. Bila tidak dicurigai intoleransi fruktose herediter dapat diberikan sari jeruk ditambah sukrose (dua sendok teh setiap gelas) biasanya efektif. Bila perlu dapat diberikan dekstrosa 15 – 20 % intravena secara cepat, dengan dosis 0,25 – 0,50 gram/kgBB. Karena dapat terjadi ”rebound” hipoglikemia maka harus dilakukan pemberian rumatan dektrosa 4 – 6 mg/kgBB/menit sampai pasien stabil euglikemia.

Pada neonatus, bila hipoglikemia terjadi pada bayi aterm asimptomatik, berikan larutan glukosa atau susu formula, bila memungkinkan minum ASI, bila tidak dapat minum jangan berikan dengan pipa nasogastrik, berikan akses intravena . Terapi pertama yang dianjurkan adalah pemberian infus glukosa intravena 1 gram/kgBB (glukosa 50%, 2 ml/kgBB), diikuti dengan 10 mg/kgBB/menit (glukosa 30%, 50 ml/kgBB/24 jam). Harus diingat, bahwa ini adalah dosis perkiraan, sehingga gula darah harus dipantau terus menerus paling sedikit selama 24 jam setelah gula darah stabil, walaupun umumnya hipoglikemia pada bayi baru lahir sebagian besar transien. Kemudian infus glukosa diturunkan perlahan-lahan sesuai dengan meningkatnya kemampuan minum peroral. Bila glukosa dihentikan secara mendadak mungkin dapat terjadi hipoglikemia berulang. Infus jangka lama dengan glukosa yang kental tersebut dapat menyebabkan komplikasi trombosis dan masukan cairan yang berlebihan, sehingga pemberian cairan juga harus diperhatikan. Bila dengan terapi diatas tidak berhasil, banyak penulis menganjurkan diberikan hidrokortison 5 mg/kgBB/24 jam dalam dosis terbagi, dapat pula diberikan glukagon secara intramukuler 50 ug/kgBB setiap 4 jam karena dapat meningkatkan ensim phosphoenolpyruvate carboxykinase.

Bila terjadi hipoglikemia akut, diberikan bolus intravena dekstrose 10%, 2,5 ml /kgBB., diikuti dengan pemberian infus intravena sesuai dengan produksi glukosa hepar. Pada bayi, kira-kira 5 – 8 mg/kgBB/menit, pada anak 3 – 5 mg/kgBB/menit. Dengan cara ini dapat mempertahankan kadar glukosa plasma diatas 2,5 mmol/L. Anak dengan hiperinsulinemia, kebutuhannya lebih tinggi. Pengobatan jangka panjang pada anak dengan hipoglikemia bervariasi tergantung etiologinya.

Hipoglikemia ketotik, kelainan “glycogen storage”, defek pada metabolisme asam lemak bebas, dan hiperinsulinisme ringan, hipoglikemia dapat dicegah dengan pemberian makan yang frekuen dengan diet yang di rancang khusus dan dapat diberikan dektrose parenteral yang dapat memberikan respon cepat bila makan kurang adekuat atau problem gastrointestinal atau penyakit yang lain. Untuk defisiensi fructose diphosphatase, hindarkan diet yang mengandung fruktose. Untuk hiperinsulinisme, maka digunakan pendekatan bertahap. Tahap pertama, biasanya dengan pemberian makan yang frekuen. Tahap selanjutnya biasanya diberikan diazoxide (15 – 20 mg/kgBB/hari). Octreotide (25 - 100 ug/kgBB/hari) biasanya merupakan obat pilihan kedua. Nifedipine merupakan “calcium channel blocker”juga dapat digunakan. Pembedahan direkomendasikan bila pengobatan gagal atau dicurigai adanya tumor yang memproduksi insulin. Hormon pertumbuhan dan atau kortisol merupakan pengobatan spesifik untuk anak dengan hipoglikemia dengan hipopituitarisme atau insufisiensi adrenal. Bayi yang lahir prematur dan SGA harus diberikan intravena atau peroral segera setelah lahir untuk mencegah hipoglikemia.

Untuk pasien hipoglikemia dan diabetes, pengobatan tergantung dari kesadaran penderita, bila pasien dalam keadaan sadar, berikan 15 gram karbohidrat (3 sendok teh gula atau tablet glukosa) melalui mulut. Yang penting adalah harus ditunggu selama 15 menit sesudah pemberian pengobatan awal sebelum dilakukan pemeriksaan gula darah ulangan, karena kemungkinan terjadi pengobatan yang berlebihan yang seringkali malah menyebabkan hiperglikemia. Bila lebih dari satu jam sebelum jadual makan berikutnya diberikan tambahan 15 gram karbohidrat dengan tambahan protein (roti, biskuit, dll) mungkin dapat membantu. Bila kesadaran pasien menurun, maka harus hati-hati terjadi aspirasi, pengobatan tergantung pada keadaan pasien.

Bila dirumah, glukagon intramuskuler merupakan pengobatan pilihan, keluarga atau orang terdekat dengan pasien diabetes yang diberikan insulin harus dapat melakukan hal ini. Bila dirumah sakit, maka diberikan larutan dekstrose 25%. Dekstrose tidak menyebabkan mual dan mutah seperti pada pemberian glukagon. Glukagon harus diberikan bilamana akses intravena mengalami kesulitan. Setelah pengobatan hipoglikemia, maka perlu diperhatikan diet dan pola aktivitas untuk menentukan penyebabnya agar tidak terjadi hipoglikemia berulang. Pengobatan hormonal, diberikan untuk terapi pengganti bilamana defisiensi hormonal, kortisol, hormon pertumbuhan, atau untuk menekan produksi hormon yang berlebihan, yaitu Somatostatin (Octreotide) merupakan obat pilihan kedua, merupakan peptida dengan kerja farmakologik sama dengan somatostatin, dengan menghambat sekresi insulin. Diazoxide merupakan obat anti hipertensi yang dapat menekan sekresi insulin. Nifedipine, merupakan “calcium channel blocker” yang menurunkan sekresi insulin.

Pembedahan
Pembedahan untuk hiperinsulinisme biasanya dilakukan bilamana terapi medikamentosa gagal atau bilamana pasien anak dengan kemungkinan tumor yang memproduksi insulin. Biasanya operasi bayi dengan hipoglikemia hiperinsulinisme menetap pankreas diambil 89 - 95%. Bilamana dengan ini tidak berhasil, maka ditambahkan obat-obatan atau dilakukan pengangkatan pankreas total. Pada anak dengan tumor yang memproduksi insulin, hanya tumor saja yang diangkat.

Dietetik
Terapi dietetik pada pasien hipoglikemia, tergantung pada penyebabnya, pada pasien dengan penyakit metabolik, hindari bahan spesifik yang dapat menyebabkan hipoglikemia. Pada pasien hipoglikemia ketotik, penyakit ”glycogen storage”, dan penyakit lain yang harus menghindari puasa, harus dihindarkan puasa dalam jangka waktu lama dan disediakan makanan yang berbasis karbohidrat.

Prognosis
Tergantung penyebab yang mendasarinya. Untuk penyakit ”inborn errors of metabolism” dan defisiensi hormonal, membutuhkan pengobatan selama hidup, sebaliknya hipoglikemia ketotik umumnya menghilang sekitar umur 5 tahun bila anak diberikan nutrisi yang adekuat untuk mencegah hipoglikemia. Untuk hiperinsulinemia, tergantung pada beratnya penyakit, respon terhadapa pengobatan, dan lesinya fokal atau difus. Pada lesi fokal umumnya dapat diobati dengan pembedahan. Hiperinsulinisme ringan yang memberikan respon dengan diazoxide, membutuhkan pengobatan jangka panjang, tetapi anak dapat hidup normal. Pada lesi difus yang tidak memberikan respon dengan pengobatan, tidak sepenuhnya dapat diobati dengan pankreatektomi dan akan timbul problem hipoglikemia dan gangguan perkembangan yang berkelanjutan.

0 komentar:

Post a Comment