RESPON IMUN TUBUH TERHADAP TUBERKULOSIS
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi M.
tuberculosis complex.1 Transmisi umumnya terjadi dari seseorang ke orang
yang lainnya melalui droplet dari pasien TB paru dengan batuk berdarah
atau berdahak yang terkontaminasi.1,2
IMUNOPATOGENESIS
Tubuh manusia mempunyai suatu sistem imun yang bertujuan melindungi
tubuh dari serangan benda asing seperti kuman, virus dan jamur. Sistem
tersebut terdiri atas berbagai macam sel dan molekul protein yang
sanggup membedakan antara self antigen dan nonself antigen. Setelah
sistem imun dibangkitkan terhadap suatu antigen asing, sistem tersebut
akan mempunyai memory atau daya ingat dan akan melakukan respons yang
lebih spesifik serta lebih aktif jika antigen tersebut masuk ke dalam
tubuh untuk kedua kalinya.1
Respons imun proteksi utama terhadap kuman intraseluler adalah
cell mediated immunity (CMI) atau imuniti seluler. Imuniti seluler
terdiri atas dua tipe reaksi yaitu fagositosis (oleh makrofag
teraktivasi) dan lisis sel terinfeksi (oleh limfosit T sitolitik).
Secara imunologis, sel makrofag dibedakan menjadi makrofag normal dan
makrofag teraktivasi. Makrofag normal berperan pada pembangkitan daya
tahan imunologis nonspesifik, dilengkapi dengan kemampuan bakterisidal
atau bakteriostatik terbatas. Makrofag ini berperanan pada daya tahan
imunologis bawaan (innate resistance). Sedang makrofag teraktivasi
mempunyai kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik sangat kuat yang
merupakan hasil aktivasi sel T sebagai bagian dari respons imun spesifik
(acquired resistance). Kuman yang masuk pertama-tama akan dihadang oleh
neutrofil, baru kemudian oleh makrofag.3,4,5 Kuman yang masuk ke
alveoli akan ditelan dan sering dihancurkan oleh makrofag alveolar.
Sel T adalah mediator utama pertahanan imun melawan M.tb. Secara
imunofenotipik sel T terdiri dari limfosit T helper, disebut juga
clusters of differentiation 4 (CD4) karena mempunyai molekul CD4+ pada
permukaannya, jumlahnya 65% dari limfosit T darah tepi. Sebagian kecil
(35%) lainnya berupa limfosit T supresor atau sitotoksik, mempunyai
molekul CD8+ pada permukaannya dan sering juga disebut CD8. Sel T helper
(CD4) berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T helper 1 (Th1)
dan sel T helper 2 (Th2). Subset sel T tidak dapat dibedakan secara
morfologik tetapi dapat dibedakan dari perbedaan sitokin yang
diproduksinya. Sel Th1 membuat dan membebaskan sitokin tipe 1 meliputi
IL-2, IL- 12, IFN-g dan tumor nekrosis faktor alfa (TNF-a). Sitokin yang
dibebaskan oleh Th1 adalah activator yang efektif untuk membangkitkan
respons imun seluler. Sel Th2 membuat dan membebaskan sitokin tipe 2
antara lain IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-10. Sitokin tipe 2 menghambat
proliferasi sel Th1, sebaliknya sitokin tipe 1 menghambat produksi dan
pembebasan sitokin tipe 2.6,7
Interaksi antara pejamu dan kuman dalam setiap lesi merupakan kelainan
yang berdiri sendiri dan tidak dipengaruhi oleh lesi lainnya. Senjata
pejamu dalam interaksi tersebut adalah makrofag teraktivasi dan sel
sitotoksik. Makrofag teraktivasi dapat membunuh atau menghambat kuman
yang ditelannya. Sel sitotoksik dapat secara langsung maupun tidak
langsung membunuh makrofag tidak teraktivasi yang berisi kuman TB yang
sedang membelah secara aktif dalam sitoplasmanya. Kematian makrofag
tidak teraktivasi akan menghilangkan lingkungan intraseluler (tempat
yang baik untuk tumbuh), diganti dengan lingkungan ekstraseluler berupa
jaringan perkijuan padat (nekrotik) yang akan mengambat pertumbuhan
kuman. Senjata kuman dalam interaksi tersebut adalah kemampuan untuk
membelah secara logaritmik dalam makrofag tidak teraktivasi, misalnya
dalam monosit yang baru saja migrasi dari aliran darah ke tempat
infeksi. Senjata lainnya adalah kemampuan untuk membelah (kadang sangat
cepat) dalam bahan perkijuan cair. Ketika kuman sedang membelah
ekstraseluler dalam perkijuan cair, sejumlah besar antigen yang
dihasilkannya menyebabkan nekrosis jaringan lebih banyak, erosi dinding
bronkus, pembentukan kaviti dan selanjutnya penyebaran kuman ke dalam
saluran napas.
Fase Pembentukan Respons Imun
Selama beberapa hari atau minggu awal infeksi TB primer, respons
kompleks sedang disiapkan oleh pejamu. Walaupun lekosit polimorfonuklear
(PMN) telah aktif pada awal inflamasi namun mereka tidak bekerja dengan
baik. Respons humoral atau antibodi yang biasanya merupakan pusat
pertahanan terhadap bakteri patogen, peranannya bisa diabaikan dalam
melawan tuberkulosis. Namun demikian sistem komplemen ikut berperan pada
tahap awal fagositosis. Mekanisme pertahanan spesifik terjadi 4-8
minggu setelah infeksi berupa sensitisasi sel T terhadap antigen
spesifik. Mekanisme tersebut pada tuberkulosis ditandai dengan
dimulainya respons cell-mediated immunity (CMI) dan delayed-type
hipersensitivity (DTH) yang akan meningkatkan kemampuan pejamu untuk
menghambat atau mengeliminasi kuman.
Respons CMI dan DTH merupakan fenomena yang sangat erat hubungannya dan
timbul akibat aktivasi sel T yang bersifat spesifik. Kedua fenomena yang
belum dapat dipisahkan tersebut terjadi melalui mekanisme respons imun
yang sama dan akan mengubah respons pejamu terhadap pajanan antigen
berikutnya. Respons DTH ditandai dengan nekrosis perkijuan akibat
lisisnya sel makrofag alveoli yang belum teraktivasi, sedang respons CMI
timbul setelah makrofag alveoli teraktivasi sehingga menjadi sel
epiteloid matur. Penelitian pada binatang percobaan mendapatkan kesan
bahwa kedua respons imun tersebut terjadi pada pejamu yang rentan maupun
resisten tetapi dengan derajat yang berbeda. Pada pejamu yang resisten
didapatkan rasio sel-sel epiteloid terhadap nekrosis perkijuan jauh
lebih besar dibandingkan pejamu yang rentan.6,7
Keseimbangan antara CMI dan DTH akan menentukan bentuk penyakit yang
akan berkembang. Respons CMI akan mengaktifkan makrofag dan selanjutnya
membunuh kuman secara intraselular sedang respons DTH menyebabkan
nekrosis perkijuan dan pertumbuhan kuman dihambat secara ekstraselular.
Keduanya merupakan respons imun yang sangat efektif menghambat
perjalanan penyakit. Untuk keberhasilan pengelolaan TB, diperlukan
pengetahuan tentang saling pengaruh antara kedua respons imun tersebut
dan perubahan rasio antara keduanya.6
Dalam makrofag, M. tuberculosis hidup bereplikasi
dalam fagosom dengan menghambat fusi fagosom dengan lisosom melalui
inhibisi sinyal Ca2+ dan menghambat recruitment dan assembly protein
yang memediasi fusi fagosom-lisosom. Oleh karena itu, fase awal TB
primer pada individu yang berlum tersensitisasi adalah proliferasi
bakteri dalam makrofag alveolar dengan bakteremia dan seeding pada
beberapa tempat. Meski terjadi bakteremia, umumnya TB asimtomatik atau
terjadi gejala seperti flu yang ringan.4
Kuman M.tb dalam makrofag akan dipresentasikan ke
sel Th1 melalui major histocompatibility complex (MHC) kelas II. Sel
Th1 selanjutnya akan mensekresi IFN g yang akan mengaktifkan makrofag
sehingga dapat menghancurkan kuman yang telah difagosit. Jika kuman
tetap hidup dan melepas antigennya ke sitoplasma maka akan merangsang
sel CD8 melalui MHC kelas I. Sel CD8 yang bersifat sitolitik selanjutnya
akan melisiskan makrofag. Tidak semua makrofag akan teraktivasi oleh
IFN-g yang dihasilkan oleh Th1 sehingga sel yang terlewat tersebut
selanjutnya akan dilisiskan melalui mekanisme DTH. Sitokin IFN-g yang
disekresi oleh Th1 tidak hanya berguna untuk meningkatkan kemampuan
makrofag melisiskan kuman tetapi juga mempunyai efek penting lainnya
yaitu merangsang sekresi TNF a oleh sel makrofag. Hal ini terjadi karena
substansi aktif dalam komponen dinding sel kuman yaitu
lipoarabinomannan (LAM) yang dapat merangsang sel makrofag memproduksi
TNF-a. Respons DTH pada infeksi TB ditandai dengan peningkatan
sensitivity makrofag tidak teraktivasi terhadap efek toksik TNF-a.
Makrofag tidak teraktivasi tersebut merupakan tempat yang baik untuk
pertumbuhan kuman, sehingga perlu dihancurkan untuk menghambat
proliferasi kuman lebih lanjut.8
Perkembangan infeksi berhubungan dengan kemampuan makrofag sekitar lesi
mengendalikan proliferasi dan penyebaran kuman TB. Pada hampir semua
pejamu normal, lesi primer dalam paru akan membaik karena pengaruh
pertahanan seluler atau CMI.
Pada sebagian pejamu kemampuan meningkatkan
respons imun lemah sehingga tidak mampu mengendalikan TB. Pejamu
tersebut secara klinis akan menderita TB beberapa minggu sampai bulan
sesudah infeksi primer. Termasuk dalam kelompok ini adalah bayi (sistem
imun imatur), usia lanjut (kompetensi imun menurun dengan bertambahnya
usia), dan immunocompromised (khususnya orang dengan human
immunodeficiency virus / HIV atau acquired immunodeficiency sÃndrome /
AIDS).
UJI TUBERKULIN9
Uji tuberkulin adalah salah satu metode yang digunakan untuk
mendiagnosis infeksi TB. Ini sering digunakan untuk skrening individu
dari infeksi laten dan menilai rata-rata infeksi TB pada populasi
tertentu. Uji tuberkulin dilakukan untuk melhat seseorang mempunyai
kekebalan terhadap basil TB, sehingga sangat baik untuk mendeteksi
infeksi TB. Tetapi uji tuberkulin ini tidak dapat untuk menentukan M.tb
tersebut aktif atau tidak aktif (latent). Oleh sebab itu harus
dikonfirmasi dengan ada tidaknya gejala dan lesi pada foto thorak untuk
mengetahui seseorang tersebut terdapat infeksi TB atau sakit TB.
Tuberkulin9
Uji tuberkulin merupakan salah satu dasar kenyataan bahwa infeksi oleh
M.tb akan menyebabkan reaksi delayed-type hypersensitivity terhadap
komponen antigen yang berasal dari ekstrak M.tb atau tuberkulin.
Stkitart tuberkulin ada 2 yaitu PPD-S dan PPD RT 23, dibuat oleh
Biological Stkitards Staten, Serum Institute, Copenhagen, Denmark. Dosis
stkitart 5 TU PPD-S sama dengan dosis 1 / 2 TU PPD RT 23.4 WHO
merekomendasikan penggunaan 1 TU PPD RT 23 Tween 80 untuk penegakan
diagnosis TB guna memisahkan terinfeksi TB dengan sakit TB.
Imunologi9
Reaksi uji tuberkulin yang dilakukan secara intradermal akan
menghasilkan hipersensitiviti tipe IV atau delayed-type hypersensitivity
(DTH). Masuknya protein TB saat injeksi akan menyebabkan sel T
tersensitisasi dan menggerakkan limfosit ke tempat suntikan. Limfosit
akan merangsang terbentuknya indurasi dan vasodilatasi lokal, edema,
deposit fibrin dan penarikan sel inflamasi ke tempat suntikan seperti
tampak pada gambar 2. Reaksi tuberkulin merupakan reaksi DTH. Protein
tuberkulin yang disuntikkan di kulit, kemudian diproses dan
dipresentasikan ke sel dendritik/ Langerhans ke sel T melalui molekul
MHC-II. Sitokin yang diproduksi oleh sel T, akan membentuk molekul
adhesi endotel. Monosit keluar dari pembuluh darah dan masuk ke tempat
suntikan yang berkembang menjadi makrofag. Produk sel T dan makrofag
menimbulkan edema dan bengkak. Test kulit positif maka akan tampak edema
lokal atau infiltrat maksimal 48-72 jam setelah suntikan.
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat
untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis
dan sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan
infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak
umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif
100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12
tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar
usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara
mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya
pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit).
Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan
diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis :
tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa
karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan
3. Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG. Pembengkakan
(Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
Vaksinasi BCG Terhadap Uji Tuberkulin9
Imunisasi BCG secara luas digunakan untuk mencegah TB yang berat. Data
yang didapat menyatakan bahwa BCG dapat memproteksi TB secara luas dari
meningitis TB meskipun tidak dapat melawan TB pada anak dan dewasa.
Imunisasi BCG dapat menyebabkan reaksi uji tuberkulin menjadi positif
tetapi keadaan ini berlangsung selama beberapa tahun setelah BCG
diberikan. Reaksi ini umumnya kecil (< 6mm). Jika reaksi uji
tuberkulin dengan ukuran yang lebih besar dapat menggambarkan positif
atau abnormal, yang diartikan sebagai seeorang tersebut terpapar dengan
basil TB, terdapat antibodi terhadap basil TB dan sewaktu-waktu dapat
menjadi aktif.
VAKSIN BCG10
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi sedikit perlindungan
terhadap TBC. Vaksin TBC tidak mencegah seseorang dari infeksi kuman
TBC, tetapi memungkinkan seseorang mengalami infeksi kecil terbatas dan
bukannya penyakit yang amat parah dan mengancam nyawa. Vaksin BCG dapat
memakan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan)
kekebalannya. Vaksinasi BCG mungkin hanya memberi kekebalan 50-60%
terhadap tuberkulosis dan bagi beberapa individu vaksin ini kurang
efektif dengan berlalunya waktu, ada kalanya dalam waktu 5-15 tahun.
Bagi anak-anak, vaksin BCG mungkin mencegah dari timbulnya bentuk TBC
yang parah, misalnya TBC di otak (meningitis TBC). Manfaat bagi kaum
dewasa kurang jelas. Tes Kulit Tuberkulin (tes Mantoux) diperlukan
sebelum vaksinasi untuk menentukan apakah kita belum positif untuk tes
kulit tuberkulin dari infeksi TBC sebelum ini, atau setelah vaksinasi
BCG. Orang yang mempunyai tes kulit Tuberkulin positif tidak akan
mendapat manfaat dari vaksin ini dan mungkin mengalami reaksi yang parah
di tempat vaksinasi. Salah satu kekurangan setelah vaksinasi BCG
adalah bahwa tes kulit Tuberkulin kelak sering positif. Ini berarti
bahwa kita mungkin tidak dapat menentukan apakah reaksi tersebut
disebabkan oleh infeksi TBC atau sebagai hasil dari vaksinasi BCG. Ada
beberapa orang yang seharusnya tidak menerima vaksinasi BCG. Orang
dengan kekebalan yang kurang, menderita penyakit seperti cacar air pada
saat ini, atau baru menerima vaksinasi hidup mis. untuk campak, mungkin
dinasihat agar tidak mendapatkan BCG.
Sama seperti untuk vaksin apapun, efek samping Vaksin BCG dapat terjadi
dan berlainan dari satu orang ke orang lain. Adakalanya tempat vaksinasi
menjadi sakit, merah dan bengkak. Ini biasanya akan sembuh tanpa
perawatan. Pembengkakan kelenjar di ketiak atau leher juga mungkin
terjadi, dan adakalanya memerlukan perawatan. Jarang sekali vaksinasi
dapat mengakibatkan infeksi BCG menyeluruh. Hal ini biasanya terjadi
pada orang yang mempunyai kekebalan yang rendah, termasuk mereka yang
HIV positif, kekurangan gizi atau mempunyai keadaan medis yang parah.
Dalam beberapa kasus yang jarang, telah terjadi kematian.
Oleh karena BCG tidak mencegah dari risiko tuberkulosis sepenuhnya,
penting agar kita mengetahui gejala-gejala penyakit TBC aktif, misalnya:
batuk terus-menerus (lebih dari dua minggu), batuk dengan dahak
berdarah, demam, keringat malam, berat badan yang menurun dan kecapaian
tanpa sebab. Gejala-gejala ini dapat terjadi karena banyak sebab, tetapi
jika Kita mengalaminya Kita harus berkonsultasi ke klinik pernapasan
setempat atau dokter keluarga Kita dan melakukan sinar X dada. Setelah
vaksinasi BCG, papul (bintik) merah yang kecil timbul dalam waktu satu
sampai tiga minggu. Papul ini akan semakin lunak dan hancur, dan
mengakibatkan luka yang kecil bagi kebanyakan orang. Luka ini mungkin
memakan waktu sampai tiga bulan untuk sembuh, dan biasanya meninggalkan
bekas luka yang kecil.
Kesimpulan
Respons imun proteksi utama terhadap kuman
intraseluler adalah cell mediated immunity (CMI) atau imuniti seluler.
Imuniti seluler terdiri atas dua tipe reaksi yaitu fagositosis (oleh
makrofag teraktivasi) dan lisis sel terinfeksi (oleh limfosit T
sitolitik). Sel T adalah mediator utama pertahanan imun melawan M.tb.
Respons CMI dan DTH merupakan fenomena yang sangat erat hubungannya dan
timbul akibat aktivasi sel T yang bersifat spesifik. Respons CMI akan
mengaktifkan makrofag dan selanjutnya membunuh kuman secara intraselular
sedang respons DTH menyebabkan nekrosis perkijuan dan pertumbuhan kuman
dihambat secara ekstraselular. Uji tuberkulin adalah salah satu metode
yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi TB. Efektifitas dalam
menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi sedikit perlindungan
terhadap TBC. Vaksin TBC tidak mencegah seseorang dari infeksi kuman
TBC, tetapi memungkinkan seseorang mengalami infeksi kecil terbatas dan
bukannya penyakit yang amat parah dan mengancam nyawa.
0 komentar:
Post a Comment