Obstructive Sleep Apnea


Apnea didefinisikan sebagai henti nafas selama 10 detik atau lebih yang dapat mengakibatkan penurunan aliran udara 25% dibawah normal. Sleep apnea adalah timbulnya episode abnormal pada frekuensi napas yang berhubungan dengan penyempitan saluran napas atas pada keadaan tidur, dapat berupa henti napas (apnea) atau menurunnya ventilasi (hypopnea).1,2

Ada tiga tipe apnea/hipopnea yaitu 1:

  • Tipe obstruktif (obstructive sleep apnea/ OSA). Tipe ini paling sering terjadi. Keadaan ini terjadi bila ventilasi menurun atau tidak ada ventilasi yang disebabkan oklusi parsial atau total pada saluran napas atas selama paling tidak 10 detik tiap episode yang terjadi. Episode henti napas sering berlangsung antara 10 detik - 60 detik. 
  • Tipe sentral (Central sleep apnea/ CSA). Tipe ini jarang terjadi cirri khas dari tipe ini adalah menurunnya frekuensi napas atau henti napas akibat menurunnya ventilasi atau tidak ada ventilasi selama paling tidak 10 detik atau lebih. Keadaan ini abnormal bila terjadi lebih dari 5 kali perjam. Penyebab utamanya adalah kelainan pada system saraf pusat yang mengatur system kardiorespirasi. Pada keadaan ini, system saraf pusat gagal mengirim impuls saraf pada saraf otot diafragma dan otot-otot pernapasan di dada.
  • Tipe campuran (Mixed sleep apnea/MSA).  kejadian MSA ini dimulai dengan CSA kemudian diikuti OSA.
Epidemiologi2
Prevalensi OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4% pada pria dan 1-2% pada wanita. Pria lebih sering mengalami OSA dan seringkali menderita obesitas. Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang ditemukan pada wanita. Prevalensi OSA lebih rendah lagi pada wanita sebelum masa menopause dan wanita menopause yang mendapat terapi hormonal. Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun.
Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan Down. Frekuensi OSA mencapai puncaknya pada dekade 5 dan 6, dan menurun pada usia di atas 60-an. Tetapi secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.


Patofisiologi1,3
OSA merupakan hasil dari proses dinamik penyempitan atau lumpuhnya (collaps) saluran napas atas selama tidur. Tempat paling sering terjadi obstruksi pada dewasa adalah belakang uvula dan velofaring (palatum mole), kemudian pada oropharynx, atau kombinasi keduanya. Patensi saluran napas atas sebagian besar diatur oleh otot-otot faring, yang diklasifikasikan menjadi 2 bagian : 

  1. Otot fase inspirasi, misalnya musculus genioglossus yang mengatur kontraksi regular dengan menyesuaikan pada gerakan pernapasan. Funsinya seperti diafragma. Tonus otot pada kelompok ini diatur selama periode tidur.
  2. Otot yang tonus ritmiknya konstan, misalnya musculus palatines tensi. Tonus otot ini konstan, yang dapat hilang atau menurun tonusnya pada keadaan tidur.
Tahanan pada saluran napas atas meningkat bermakna selama tidur, dan dapat lebih meningkat jika ada faktor predisposisi yang mendukung terjadinya penutupan saluran napas, atau terjadi peningkatan beban otot-otot dilator faringeal. Lumpuhnya saluran napas atas terjadi bila tekanan negative yang dibuat oleh otot-otot pernapasan lebih besar dari kemampuan otot-otot yang berfungsi melebarkan saluran napas atas.

Periode apnea biasanya diakhiri dengan bentuk arousal dari tidur, dimana otot-otot yang berperan pada dilatasi saluran napas atas mulai bekerja normal adan aliran udara pernapasan kembali normal. Proses aurosal selama periode tidur berakibat proses tidur mengalami fragmentasi, kadang pasien bias terbangun mendadak. Saturasi oksigen dapat menurun > 3%, akibat obstruksi saluran napas >80%. Pada hipopnea, obstruksi jalan napas berkisar antara 30%-50% dengan penurunan saturasi oksigen> 3%. Kebanyakan pasien mengalami keadaan apnea antara 20-30 kejadian perjam dan bias lebih dari 200 kali permalam. Keadaan ini menjadi penyebab utama hipersomnolen pada pasiennya. Factor resiko OSA, antara lain: obesitas, pria, usia lanjut, pemakaian obat depresan saraf pusat seperti alcohol dan sedative, saluran napas yang sempit; seperti mikrognathia dan retrognathia, hipotirodisme atau akromegali, serta genetic dan familial.


Gambaran Klinis1,2
Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi, kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang sangat mengganggu pada siang hari (hipersomnolen) sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan, pekerjaan dan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.


Diagnosis
Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase pre-obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif). 
Diagnosis OSA dibuat berdasarkan gangguan nafas yang ditemukan pada waktu tidur pada individu yang menunjukkan gejala terutama mengantuk pada siang hari dan mendengkur.4 


Pemeriksaan fisik yang penting adalah menentukan IMT.1 Morfologi saluran napas atas dan bentuk anatomis kraniofasial perlu diperiksa untuk ditentukan kemungkinannya menjadi factor resiko sleep apnea. Pengukuran saturasi oksigen selama tidur malam dengan oksimetri, dapat digunakan untuk menguji apakah terjadi sleep apnea pada seorang pasien dengan gangguan tidur. Walaupun demikian sepertiga pasien tidak mengalami penurunan saturasi oksigen.1


Diagnosis baku untuk menentukan OSA adalah dengan polisomnografi nocturnal yang dilakukan di klinik sleep apnea. Alat ini menggunakan kombinasi dari elektroensefalografi untuk mencatat gelombang listrik saraf pusat, elektro-okulografi untuk mencatat gerakan mata, oksimetri untuk mencatat saturasi oksigen, monitor holter untuk mencatat rekaman jantung, dan elektromiografi untuk mencatat gerakakan otot pernapasan selama tidur malam, dan monitor posisi tidur. Parameter yang dihasilkan adalah hasil dari perhitungan terjadinya apnea dan hipopnea disebut Indeks apnea hipopnea (AHI). Indeks normalnya adalah< 5 kejadian perjam. 


Dinyatakan OSA bila AHI >5x/jam. Alat ini dilakukan selama 4 jam tidur malam. Penilaian meliputi berhentinya aliran udara minimal 10 detik dengan gerakan napas masih berjalan (OSA), berhentinya aliran udara diikuti dengan berhentinya gerakan napas (CSA), dan campuran keduanya.1


Klasifikasi lain yang dihubungkan dengan Respiratory Disturbance Index (RDI) dan beratnya hipoksemi seperti berikut:4
RDI SaO2 (%)
Mild 5-20 >85
Moderate 21-40 65-84
Severe >40 <65 


Teknik pemeriksaan telah dikembangkan untuk memperkirakan pasien mana yang lebih baik menjalani operasi atau menggunakan peralatan oral daripada menggunakan nasal continuous positive airway pressure. Untuk itu dilakukan pemeriksaan nasofaringoskopi rutin oleh ahli THT guna mengevaluasi saluran nafas atas, baik pada waktu penderita bangun ataupun tidur.4 Sleep nasoendoscopy memungkinkan penilaian dinamis faring pada waktu tidur. Tempat di mana terjadi obstruksi dapat terlihat sehingga bisa dilakukan terapi yang spesifik, sesuai dengan tempat terjadinya sumbatan:4 Kavum nasi, Palatum, Basis lidah, Dinding lateral faring dan Epiglotis 


Sumbatan yang ditemukan pada pemeriksaan sleep nasoendoscopy dapat diklasifikasikan sebagai berikut:4 
Derajat 1 : hanya ditemukan vibrasi dari palatum 
Derajat 2 : hanya ditemukan obstruksi palatum 
Derajat 3 : obstruksi palatum dan perluasan ke orofaring yang intermiten 
Derajat 4 : obstruksi pada beberapa level 
Derajat 5 : hanya ditemukan obstruksi pada basis lidah 


Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menilai faring secara 3 dimensi adalah CT Scan dan MRI, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan secara rutin. Pemeriksaan cephalography menghasilkan gambaran dua dimensi dan dapat dipergunakan untuk menilai struktur maksilofasial.4 


Komplikasi4 
OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di antaranya: 

  1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya ingat, sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal. 
  2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke
  3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale
  4. Metabolik: diabetes, obesitas.
  5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.
  6. Hematologis: polisitemia. 
Terapi Non-Bedah4
Pada pertengahan abad yang lalu, terapi OSA hanya trakeostomi. Trakeostomi secara komplet dapat mem-bypass bagian saluran nafas yang mengalami penyempitan atau sumbatan pada waktu tidur. Terapi OSA kini adalah nCPAP sangat sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif melalui hidung maka setiap kecenderungan jalan nafas untuk menyempit dan menutup dapat diatasi dan dinding jalan nafas dapat distabilkan sehingga menekan suara dengkur, menormalkan kualitas tidur dan menghilangkan gejala pada siang hari. Efektifitas pengobatan dengan cara ini mencapai 90-95%.

Manajemen konservatif termasuk perubahan perubahan posisi tidur miring ke samping kanan atau kiri, tergantung pada perbaikan IGR. Mengurangi berat badan(diet), olah raga, menghindari minuman yang mengandung alcohol, mengurangi konsumsi obat-obat sedative dan medikamentosa1. Walaupun berat badan dapat dikurangi, tetapi seringkali tidak dapat bertahan lama. Dapat dipertimbangkan tindakan yang lebih radikal seperti operasi bypass lambung pada penderita obesitas berat. Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat diatasi dengan mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan posisi miring atau telungkup (pronasi).

Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular advancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan menahan mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga dapat memaksimalkan diameter faring dan mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA yang ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan sendi temporomandibula. Pemberian oksigen sebagai terapi OSA tidak efektif. Walaupun cara ini dapat membantu mengatasi desaturasi oksihemoglobin, tetapi tidak dapat mengatasi obstruksi. Oksigen menyebabkan frekuensi apnea berkurang, tetapi juga mengakibatkan apnea yang terjadi bertambah lama waktunya. Terapi oksigen mungkin dapat bermanfaat bagi pasien yang tidak dapat menerima terapi lain.

Terapi Bedah4
Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan nCPAP karena beberapa sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena timbulnya efek samping seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut yang kering. Banyak pasien yang tidak mau penggunakan alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika, sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA.Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan:

  1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi CPAP. 
  2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP) dan uvulopalatoplasti. Hasilnya tidak sebaik CPAP pada penderita OSA yang berat. Morbiditas yang tinggi akibat operasi uvulopalatofaringoplasti konvensional dapat dihindari dengan menggunakan laser atau dengan menggunakan radiofrekuensi coblation. Hasilnya dalam jangka pendek cukup baik, walaupun dapat terjadi rekurensi dalam jangka panjang.
  3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.
  4. Tindakan bedah pada mandibula atau maksila (maxillomandibular osteotomy dan advancement).
  5. Lidah: lingual tonsillectomy, laser midline glossectomy, lingualplasti dan ablasi massa lidah dengan teknik radiofrekuensi
  6. Hyoid myotomy and suspension.
  7. Teknik terbaru menggunakan alat somnoplasty dengan radiofrekuensi Celon® atau Coblation®, dan pemasangan implan Pillar® pada palatum. Teknik radiofrekuensi menghasilkan perubahan ionik pada jaringan, menginduksi nekrosis jaringan sehingga menyebabkan reduksi volume palatum tanpa kerusakan pada mukosa dan menghilangkan vibrasi (kaku). Implan Pillar® atau implan palatal merupakan teknik yang relative baru, merupakan modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang menyebabkan snoring. 

0 komentar:

Post a Comment